Minggu, 06 Januari 2013

Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi


Pengantar

Pendidikan kewarganegaraan (citizenship education) memiliki peran penting  dalam suatu  kehidupan berbangsa dan bernegara.  Menurut William Galston,  pendidikan kewarganegaraan per definsi adalah pendidikan_di dalam dan demi_ tatanan politik yang ada (Felix Baghi, 2009).  Pendidikan kewarganegaraan adalah bentuk pengemblengan individu-individu agar mendukung dan memperkokoh komunitas politiknya sepanjang komunitas politik itu adalah hasil kesepakatan. Pendidikan kewarganegaraan suatu negara akan senantiasa dipengaruhi oleh nilai-nilai dan tujuan pendidikan (educational values and aims) sebagai faktor struktural utama (David Kerr, 1999). Pendidikan kewarganegaraan bukan semata-mata membelajarkan fakta tentang lembaga dan prosedur kehidupan politik tetapi juga persoalan jatidiri dan identitas suatu bangsa (Kymlicka, 2001).
Berdasar hal di atas, pendidikan kewarganegaraan di Indonesia juga berkontiribusi penting dalam menunjang tujuan bernegara Indonesia.  Pendidikan kewarganegaraan secara sistematik adalah dalam rangka perwujudan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 Pendidikan kewarganegaraan berkaitan dan berjalan seiring dengan perjalanan pembangunan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pendidikan kewarganegaraan merupakan bagian integral dari ide, instrumentasi, dan praksis kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia (Udin Winataputra, 2008). Bahkan dikatakan, pendidikan nasional kita hakikatnya adalah pendidikan kewarganegaraan agar dilahirkan warga negara Indonesia yang berkualitas baik dalam disiplin sosial dan nasional, dalam etos kerja, dalam produktivitas kerja, dalam kemampuan intelektual dan profesional, dalam tanggung jawab kemasyarakatan, kebangsaan, kemanusiaan serta dalam moral, karakter dan kepribadian (Soedijarto, 2008).
Pendidikan kewarganegaraan di manapun pada dasarnya bertujuan membentuk warga negara yang baik (good citizen) (Somantri, 2001; Aziz Wahab, 2007; Kalidjernih, 2010).  Namun konsep “warga negara yang baik” berbeda-beda dan sering berubah sejalan dengan perkembangan bangsa yang bersangkutan. Dalam konteks tujuan pendidikan nasional dewasa ini, warga negara yang baik yang gayut dengan pendidikan kewarganegaraan adalah warga negara yang demokratis bertanggung jawab (Pasal 3) dan warga negara yang memiliki semangat kebangsaan dan cinta tanah air (pasal 37 Undang-Undang No 20 Tahun 2003).  Dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan kewarganegaraan di Indonesia adalah membentuk warga negara yang demokratis bertanggung jawab, memiliki semangat kebangsaan dan cinta tanah air.
Pendidikan kewarganegaraan merupakan bidang yang lintas keilmuan (Udin Winataputra, 2001) atau bidang yang multidisipliner (Sapriya, 2007). Sebagai bidang yang multidimensional, pendidikan kewarganegaraan dapat memuat sejumlah fungsi antara lain; sebagai pendidikan politik, pendidikan hukum dan pendidikan nilai (Numan Somantri, 2001); pendidikan demokrasi (Udin Winataputra, 2001); pendidikan nilai, pendidikan demokrasi, pendidikan moral dan pendidikan Pancasila (Suwarma, 2006), pendidikan politik hukum kenegaraan berbangsa dan bernegara NKRI, sebagai pendidikan nilai moral Pancasila dan Konstitusi NKRI, pendidikan kewarganegaraan (citizenship education) NKRI dan sebagai pendidikan kewargaan negara (civic education) NKRI (Kosasih Djahiri, 2007); dan sebagai pendidikan demokrasi, pendidikan karakter bangsa,  pendidikan nilai dan moral, pendidikan bela negara, pendidikan politik, dan pendidikan hukum (Sapriya, 2007).  Fungsi yang berbeda-beda tersebut sejalan dengan karakteristik “warga negara yang baik” yang hendak diwujudkan.
Selain memuat beragam fungsi, pendidikan kewarganegaraan memiliki 3 domain/ dimensi atau wilayah yakni sebagai program kurikuler, program sosial kemasyarakatan dan sebagai program akademik (Udin Winataputra, 2001; Sapriya, 2007). Pendidikan kewarganegaraan sebagai program kurikuler adalah pendidikan kewarganegaraan yang dilaksanakan di sekolah atau dunia pendidikan yang mencakup program intra, ko dan ekstrakurikuler.  Sebagai program kurikulum khususnya intra kurikuler, pendidikan kewarganegaraan dapat diwujudkan dengan nama pelajaran yang berdiri sendiri (separated) atau terintegrasi dengan mata pelajaran yang lain (integratied). Sebagai program sosial kemasyarakatan adalah pendidikan kewarganegaraan yang dijalankan oleh dan untuk masyarakat. Pendidikan kewarganegaraan sebagai program akademik adalah kegiatan ilmiah yang dilakukan komunitasnya guna memperkaya body of knowledge pkn itu sendiri.



Mata kuliah PKn di Perguruan Tinggi

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai nama mata kuliah di perguruan tinggi merupakan perwujudkan dari pendidikan kewarganegaraan (pkn) dalam dimensi kurikuler khususnya kegiatan intra kurikuler. Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi dimunculkan sebagai mata kuliah tersendiri, tidak terintegrasi dengan mata kuliah lain.  Ia dapat dikatakan sebagai nama species, sedang genusnya adalah pkn itu sendiri.  Ia adalah nama diri bukan nama jenis. Secara kebetulan species atau nama diri sama dengan nama genus atau nama jenisnya yakni PKn.
Namun demikian, pengalaman penyelenggaraan pendidikan kewarganegaraan di  perguruan tinggi di Indonesia pernah diwujudkan dengan berbagai nama diri atau species yang berbeda-beda. Pendidikan kewarganegaraan pernah diwujudkan dengan nama mata kuliah Filsafat Pancasila, Kewiraan, Pendidikan Pancasila dan PKn. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah ada pelajaran Civics, PKN, PMP, PSPB, PPKn,  Kewarganegaraan , PKPS, dan PKn.
Perkembangan baru menunjukkan bahwa pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi dimunculkan dengan dua mata kuliah yang berbeda yakni Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dengan merujuk pada SK Dirjen Dikti No. 43 Tahun 2006 dan Pendidikan Pancasila (PP) mendasarkan pada SE Dirjen Dikti No. 914/E/T/2011.

Kedua mata kuliah tersebut pada hakekatnya merupakan pendidikan kewarganegaraan sebagai program kurikuler pada jenjang pendidikan tinggi  di Indonesia  yang juga sama-sama bertujuan membentuk warga negara yang baik (good citizen). Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya overlapping antara keduanya, perlu dirumuskan konsep warga negara yang baik yang hendak dikembangkan oleh kedua mata kuliah ini.  Hal demikian juga perlu pemberian penekanan fungsi yang berbeda dari  kedua mata kuliah.
Jika merujuk pada tujuan pendidikan nasional dan tujuan pendidikan kewarganegaraan yang terdapat dalam Undang-Undang No 20 Tahun 2003, maka terungkap bahwa fungsi pendidikan kewarganegaraan di perguruan tinggi adalah sebagai pendidikan demokrasi dan pendidikan kebangsaan. Sebagai pendidikan demokrasi karena bertujuan membentuk warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab (pasal 3), dan sebagai pendidikan kebangsaan karena bertujuan membentuk warga negara yang memiliki semangat kebangsaan dan cinta tanah air (pasal 37). Jika demikian, dengan sederhana dapat diusulkan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) memuat fungsi sebagai pendidikan demokrasi, sedang mata kuliah Pendidikan Pancasila  mengemban fungsi sebagai pendidikan kebangsaan.  Jika dua fungsi ini telah ditetapkan dan terbedakan maka selanjutnya dapat dikembangkan sejumlah materi pembelajaran (instructional material) yang dapat mendukung fungsi dari mata kuliah tersebut. Fungsi dari mata kuliah tersebut sekaligus menunjukkan jatidiri mata kuliah yang bersangkutan.
Namun demikian, jika hanya dua fungsi pendidikan yang diemban oleh kedua mata kuliah tersebut, bagaimana dengan fungsi-fungsi lain yang sesungguhnya juga bisa dimuat oleh pendidikan kewarganegaraan sebagai program kurikuler? Misal, fungsinya sebagai pendidikan kesadaran hukum, pendidikan nilai moral/karakter, pendidikan HAM, pendidikan multikultural, pendidikan anti korupsi, pendidikan kesadaran lingkungan, pendidikan kewarganegaraan (civic education) dalam arti sempit.
Apabila memang diinginkan bahwa kedua mata kuliah tersebut memuat pula sejumlah fungsi pendidikan di atas, perlu pemetaan ulang dan pembedaan fungsi yang diemban, sehingga_sekali lagi_tidak terjadi overlapping.  Sebab jika terjadi tumpang tindih rumusan fungsinya akan berpengaruh pula pada overlapping materi pembelajarannya.

Berdasar masalah di atas, menurut hemat penulis, Pendidikan Pancasila lebih baik memuat fungsi atau jatidirinya sebagai pendidikan nilai/moral atau karakter dan pendidikan kesadaran hukum, termasuk kesadaran berkonstitusi. Sebab secara konseptual, Pancasila merupakan jatidiri bangsa yang didalamnya memuat nilai-nilai luhur bangsa. Di samping itu Pancasila sebagai dasar negara memiliki implikasi yuridis sebagai sumber hukum yang nantinya tercermin dalam UUD 1945. Sementara itu, PKn dapat mengemban fungsi sebagai pendidikan kebangsaan dan pendidikan demokrasi, ditambahkan sebagai pendidikan HAM, multikultural dan pendidikan kewarganegaraan dalam arti sempit.
Dengan demikian, apabila jatidiri dari kedua mata kuliah tersebut sudah jelas dan terbedakan, maka akan lebih mudah untuk merumuskan kompetensi (tujuan pembelajaran) dan  isi (materi pembelajaran) dari mata kuliah Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi.
Oleh karena itu di bawah ini, penulis akan mencoba merumuskan sejumlah visi, misi, , tujuan, kompetensi dan materi pendidikan dari PKn dalam fungsinya sebagai pendidikan kebangsaan, pendidikan demokrasi, pendidikan HAM, multikultural dan pendidikan kewarganegaraan dalam arti sempit.


Visi Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi

Sebagai kelompok matakuliah pengembangan kepribadian yang memberi orientasi bagi mahasiswa dalam memantapkan wawasan dan  kesadaran kebangsaan, cinta tanah air, demokrasi , penghargaan atas keragamaan dan partisipasinya membangun bangsa berdasar Pancasila


Misi Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi

Sebagai kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian yang menyelenggarakan pendidikan kebangsaan, demokrasi , HAM, multikulural dan kewarganegaraan kepada mahasiswa guna mendukung terwujudnya warga negara yang cerdas, trampil dan berkarakter sehingga dapat diandalkan guna membangun bangsa dan negara berdasar Pancasila dan UUD 1945 sesuai dengan bidang keilmuan dan profesinya.


Tujuan  Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi

1.    Memiliki wawasan dan kesadaran kebangsaan dan rasa cinta tanah air  sebagai perwujudan warga negara Indonesia yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup bangsa dan negara
2.    Memiliki wawasan dan penghargaan terhadap keanekaragaman masyarakat Indonesia sehingga mampu berkomunikasi baik dalam rangka meperkuat integrasi nasional
3.    Memiliki wawasan, kesadaran dan kecakapan dalam melaksanakan hak, kewajiban, tanggung jawab dan peran sertanya sebagai warga negara yang cerdas, trampil dan berkarakter
4.    Memiliki kesadaran dan penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia serta kewajiban dasar manusia sehingga mampu memperlakukan warga negara secara adil dan tidak diskriminatif
5.    Berpartisipasi aktif membangun masyarakat Indonesia yang  demokratis dengan berlandaskan pada nilai dan budaya demokrasi  yang bersumber pada Pancasila
6.    Memiliki  pola sikap,  pola pikir dan pola perilaku yang mendukung ketahanan nasional serta mampu menyesuaikannya dengan tuntutan perkembangan zaman demi kemajuan bangsa



Sumber: winarno.staff.fkip.uns.ac.id/


Keagamaan

Lima belas abad yang lalu Nabi Muhammad SAW berkata “Tuntutlah ilmu sejak dari ayunan sampai ke liang lahat”. Sabda ini mengandung arti bahwa manusia dituntut untuk selalu mencari pengetahuan sejak lahir sampai akhir hayat tanpa henti dalam rangka meningkatkan kualitas hidup. Dalam hadis lain Nabi Muhammad SAW juga menekankan bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban. Banyaknya sabda nabi tentang pentingnya menuntut ilmu menunjukkan betapa berharganya ilmu pengetahuan. Bukankah yang membedakan antara manusia dengan makhluk lain pun adalah ilmunya.

Secara konstitusi dalam sistem pendidikan nasional, pendidikan seumur hidup pernah dinyatakan secara langsung, jelas dan tegas. Dalam GBHN diungkapkan bahwa pendidikan merupakan usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam dan di luar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Hal ini seperti terdapat dalam Tap MPR No IV/1978 yang bahkan menyatakan bahwa pendidikan berlangsung seumur hidup dan dilaksanakan dalam lingkungan rumah tangga, sekolah dan masyarakat. Karena itu pendidikan merupakan tanggungjawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah.

Menciptakan masyarakat belajar merupakan cita-cita besar, sekaligus menyadarkan kita untuk dapat belajar secara formal, nonformal dan informal. Pendidikan formal dilaksanakan di sekolah atau tempat tertentu, teratur dan sistematis, serta berlangsung dari Taman Kanak-kanak (TK) sampai dengan Perguruan Tinggi dalam kurun waktu tertentu serta didasarkan kepada aturan resmi yang telah ditetapkan. Sementara pendidikan non-formal merupakan bentuk pendidikan yang diselenggarakan dengan sengaja, tertib dan terencana yang dilaksanakan di luar persekolahan. Sedangkan pendidikan informal adalah pendidikan yang berlangsung di keluarga dan yang berperan dalam hal ini adalah orang tua.

Dengan kata lain pendidikan nasional kita didasarkan pada Tri Pusat Pendidikan yaitu keluarga, Masyarakat dan Sekolah. Jadi dapat disebutkan bahwa interaksi yang terjadi antara keluarga, masyarakat dan sekolah, baik sengaja maupun tak sengaja, di dalamnya tetap mengandung unsur pendidikan. Fakta ini menunjukkan dianutnya konsep pendidikan seumur hidup dalam beberapa lembaga dan tingkatan.

Dalam dunia pendidikan modern terdapat istilah Long Life Education atau pendidikan seumur hidup. Setiap individu diharapkan memiliki kesadaran meningkatkan kualitas hidupnya dengan tidak terikat kepada pendidikan formal semata. Istilah pendidikan seumur hidup juga dikemukakan Abu Ahmadi dakam bukunya Ilmu Pendidikan. Terkait konsep ini, pada 1970 Paul Lengrand bahkan sempat menerbitkan buku An Introduction To Life Long Education. Konsep ini kemudian termaktub dalam komisi internasional tentang pengembangan pendidikan yang diketuai oleh Edgar Paure.

Pokok dari konsep belajar seumur hidup adalah Learning to Be, yakni kebijakan pendidikan didasarkan kepada asas pendidikan seumur hidup. Pendidikan seumur hidup secara nyata diperoleh dari proses pendidikan dan pengajaran yang ditempuh seseorang. Proses pendidikan pada umumnya bertujuan membentuk pribadi agar matang, dewasa dan mandiri. Sementara proses pengajaran merupakan pemberian ilmu pengetahuan, teknologi dan keterampilan agar menjadi pribadi yang cerdas intelektual, cerdas emosional dan psikomotorik.

Agar tercipta pribadi pembelajar maka proses belajar bermakna (meaningfull learning) sangat diperlukan. Belajar bermakna merupakan proses mengubungkan informasi baru dengan konsep-konsep relevan yang terdapat dalam struktur kognitif seseorang. Kebermaknaan belajar sebagai hasil dari peristiwa mengajar ditandai dengan terjadinya hubungan antara aspek-aspek, konsep-konsep, informasi atau situasi baru dengan komponen-komponen yang relevan dalam struktur kognitif siswa.

Menciptakan proses belajar bermakna dapat dilakukan pendidik, tutor dan pamong belajar dengan pemberian materi yang terkait dengan beberapa hal.
1. Berpusat pada siswa. Artinya pembelajaran hendaknya memperhatikan perbedaan individu peserta didik, mendorong partisipasi aktif peserta didik, mengembangkan budaya membaca dan menulis, memberikan umpan balik dan tindak lanjut, keterkaitan dan keterpaduan dengan menerapkan teknologi informasi secara terintegrasi, sistematis, dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi.
2. Memberikan pengalaman langsung. Artinya pembelajaran yang disesuaikan dengan situasi yang dialami oleh siswa, mengadakan percobaan untuk materi yang memerlukan pembuktian dan melibatkan siswa secara langsung dalam pemecahan masalah.
3. Menyajikan konsep dari berbagai mata pelajaran. Artinya pembelajaran dengan mengkonstruksi dasar dari ilmu pengetahuan sehingga pada saat apllikasi siswa dapat menghubungkan konsep dari berbagai mata pelajaran dapat menjadi pertimbangan pengembilan keputusan
4. Bersifat fleksibel
5. Hasil pembelajaran sesuai dengan minat dan kebutuhan siswa
6. Menggunakan prinsip belajar sambil bermain dan menyenangkan.

Pribadi yang suka belajar didapat dari penyajian pembelajaran yang menimbulkan minat siswa untuk mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Ciri-cirinya, pertama, pembelajaran interaktif atau pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menjalin kerjasama yang bermakna dengan teman dan guru. Kedua, pembelajaran inspiratif atau pembelajaran yang mendorong dan memicu peserta didik untuk mencari dan menemukan hal-hal yang baru dan inovatif. Ketiga, pembelajaran yang menyenangkan atau pembelajaran yang memungkinkan siswa belajar dalam suasana tanpa tekanan, bebas, terlibat secara psikis dan fisik.

Uraian-uraian di atas menjelaskan kepada kita betapa pentingya pendidikan seumur hidup yang ditunjukkan baik oleh ajaran agama, konstitusi Negara, pendidikan secara kelembagaan, maupun hal-hal yang berkaitan dengan teknis proses pendidikan dan pembelajaran. Hal ini tak lepas dari beberapa hal yang menjadi dasar pemikiran dalam konsep pendidikan seumur hidup itu sendiri.

Pertama, tinjauan idiologis. Secara kodrat manusia itu selalu ingin mengembangkan diri. Manusia memiliki hak yang sama dalam memperoleh pendidikan, sehingga dengan pendidikan akan menambah pengetahuan dan kualitas hidupnya secara otomatis. Kedua, tinjauan ekonomis. Tidak ada jalan lain agar manusia keluar dari kebodohan dan kemiskinan kecuali terus memperkaya hidup dengan ilmu melalui pendidikan yang berlangsung seumur hidup. Hal ini akan memberikan dampak pada meningkatnya produktifitas hidup, mengembangkan setiap potensi serta sumber daya yang dimiliki. Jika setiap individu dengan sadar mengembangkan dirinya melalui proses pendidikan maka dimungkinkan mereka akan menikmat kehidupan ini dengan nyaman dan bermakna.

Ketiga, tinjauan sosiologis. Permasalahan pokok yang terjadi di negara berkembang adalah pemborosan pendidikan. Putus sekolah, kurang menyadari pentingnya pendidikan pemahaman yang keliru mengenai pendidikan itu sendiri atau bahkan tidak sekolah sama sekali. Sehingga yang terjadi adalah angka buta huruf bertambah, pengangguran di mana-mana hal ini yang di indikasikan sebagai pemborosan pendidikan. Keempat, tinjauan politis. Negara kita adalah negara demokratis, di mana setiap warga negara harus memahami akan hak dan kewajibannya di samping mengetahui pula peran pemerintah. Dengan demikian fungsi dari pendidikan seumur hidup adalah memberikan pendidikan kewarganegaraan kepada setiap warga negaranya. Kelima, tinjauan teknologis. Ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang, maka setiap individu harus mengikuti perkembangan yang terjadi. Keenam, tinjauan psikologis dan pedagogis. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang secara terus menerus akan memberikan pengaruh besar kepada proses pendidikan. Komunikasi yang diberikan oleh guru sangat penting untuk mengkomunikasikan perkembangan ilmu pengetahuan tersebut.

Dengan tinjauan dari berbagai sisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan seumur hidup diciptakan dari kerjasama yang terpadu antara insan pendidikan, keluarga dan masyarakat. Belajar bukan hanya didapat dari pendidikan formal, tetapi dari pendidikan informal dan non formal. Akhirnya apapun jenis pendidikan yang didapat seseorang maka kebermaknaan pembelajaran menjadi konsep awal pemikiran bahwa belajar seumur hidup sangatlah penting.




Sumber: http://www.unikaneh.com/

Pendidikan Agama dan Multikulturalisme


Belakangan ini isu kekerasan keagamaan masih saja menghantui kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama melalui aksi pemaksaan kehendak untuk diikuti kelompok lain di luarnya. Kenyataan tersebut jelas terlihat dalam aksi anarkis beberapa Ormas keagamaan semacam Front Pembela Islam (FPI) di berbagai daerah dalam memaksakan kebenarannya.
Tindakan kekerasan dengan dalih penertiban merupakan kausalitas dari posisi negara yang tidak mampu memerankan posisi strategis. Hubungan tersebut adalah ketidakmampuan dalam menjamin kesejahteraan ekonomi masyarakat, tidak profesionalnya aparat penegak hukum dengan sikap yang lembek, dan pemahaman doktrin keagamaan yang mendasarkan pada teks tanpa semangat mengintegrasikan dengan dunia realitas yang plural sekaligus berintegrasi dengan globalisasi.
Dalam pendidikan selama ini, peserta didik dan pendidik sama sekali tidak memiliki kesempatan dan ruang ekspresi kebebasan dalam menempa jati diri masa depan. Kedua subjek pendidikan itu dipaksa menjadi robot untuk menghafal segala rumus bahkan menghafal semua materi pelajaran yang diujikan, termasuk teks-teks kitab rujukan pembelajaran. Mulai dari sekolah tingkat terendah sampai menengah atas, semangat berfikir pragmatis dan instan serta sekadar menghafal tanpa ada ruang menganalisis, menjelma menjadi budaya belajar generasi saat ini.
Konsekuensinya, pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran yang menjadikan peserta didik aktif mengembangkan potensi diri, baik potensi keagamaan, emosi, moral, dan kreativitas, menjadi gagal. Satu kunci dalam problem pendidikan semacam ini adalah karena ketiadaan aspek pembebasan dalam ruang belajar, atau tiadanya dimensi kemanusiaan dalam pendidikan.
Persoalan pendidikan semacam itu berlanjut dengan tumbuhnya generasi yang tidak memiliki nilai-nilai dasar seperti keteguhan dalam berprinsip, solidaritas sosial, dan toleran terhadap perbedaan, karena semua diseragamkan dalam satuan sistem, yaitu eksakta lulus dan tidak lulus, pintar dan bodoh, atau bermutu dan tidak bermutu. Segala hasil dari proses pendidikan hanya diukur berdasarkan skala kuantitatif dan hafalan.
Kecenderungan pola pendidikan itu berimplementasi pada model pergaulan peserta didik yang memasung sekat sosial masing-masing. Komunitas pandai akan bersama dengan orang-orang yang pandai, begitupun peserta didik yang kurang kemampuan intelektualnya akan disisihkan bersama orang-orang yang bodoh lainnya dengan dalih agar lebih mudah dikembangkan tingkat prestasi akademiknya. Dampak psikologis dari pilihan semacam itu adalah anak-anak yang mendendam untuk meruntuhkan sekat sosial yang sengaja memarginalkannya.
Tidak heran, jika produk komunitas terpinggirkan itu akan senantiasa menghiasi forum tawuran pelajar, pemaksaan kehendak, dan penyimpangan sistem sosial lain. Bagi kalangan ini, pendidikan menjelma menjadi media kekecewaan dan arena kesadaran sosial kolektif tentang ketidakadilan yang telah mengekangnya, dan secara tidak langsung tidak menghargai keberadaannya. Ada satu hal yang kiranya sama-sama memiliki andil besar atas terjadinya peristiwa tragis tersebut, yaitu dikembangkannya tradisi pendidikan berupa pendoktrinan materi dan pewarisan budaya, tanpa adanya semangat pembebasan untuk merespon alternatif pemecahan atas problem sosial yang ada.
Kondisi demikian, juga harus terjadi dalam institusi pendidikan Islam, baik di lokalitas Indonesia maupun secara global di kawasan lainnya. Dalam menghadapi perkembangan zaman, eksistensi pendidikan Islam justru dimanfaatkan untuk menjaga normativitas keagamaan. Pendidikan Islam masih terjebak dengan pola-pola konvensional ala Ta’limul Muta’allim karangan az Zarnuji.
Peserta didik dipaksa tunduk dalam pasungan kebenaran tunggal dari pendidik. Pola ini melahirkan model kepandaian “menimbun fakta-fakta” dengan menghafalkannya, tanpa sedikitpun diberikan ruang menganalisis atau sekadar merelasikan dengan problem sosial. Akibatnya, stagnansi pemikiran menjurus pada terbangunnya kebenaran secara turun temurun tanpa memiliki ikatan kesesuaian dengan perkembangan zaman. Hanya ada satu jawaban kebenaran sebagaimana diajarkan guru dan yang sesuai dengan kelompoknya sendiri sehingga berhak menyesatkan kelompok lain. Pada akhirnya bangunan keberagamaan berupa teologi menjadi problem tradisi di masyarakat.
Oleh karenanya, masyarakat tidak mampu berproduksi optimal dalam menghadirkan perubahan dan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan tantangan zaman, karena adanya hegemoni kebenaran dan klaim sepihak sebagai perusak kemurnian agama atau sekularis, manakala berupaya mengintegrasikan antara agama dan ilmu pengetahuan, atau sekadar mempelajari kebenaran di luar kebenaran yang diyakininya.
Inilah pentingnya memahami paradigma berfikir yang mampu menghargai perbedaan dan dapat dijadikan mitra kerjasama ataupun unsur yang dapat dipersatukan dalam wujud multikulturalisme. Apakah multikulturalisme ada riwayat sejarahnya di masa silam? Bagaimana pendidikan agama mampu merespon beragam perbedaan pemikiran dan tampilan keberagamaan melalui paradigma multikulturalisme?
Menakar Multikulturalisme Dalam Pendidikan Agama?
Tak sulit membayangkan betapa rawannya Indonesia dengan konflik sosial karena beragamnya budaya, suku, bahasa, dan juga agama yang berada di sekitar 17.500 buah pulau dalam 3.200 mil lautan. Bangsa Indonesia kini berjumlah lebih dari 200 juta, mayoritas beragama Islam, dengan pengakuan empat agama lain di luar Islam secara formal.
Agama Hindu sebagian besar berada di Bali dan di ujung timur pulau Jawa seperti Tengger. Katholik kebanyakan bermukim di Nusa Tenggara Timur terutama pulau Flores, kepulauan Kei di Maluku dan Jawa bagian Tengah. Protestan cenderung menyebar di Papua, Sulawesi Utara, Sumatera Utara, Maluku Tengah, dan Maluku bagian tenggara. Sedangkan Kong Hu cu yang biasa dianut oleh etnis China, menetap di kota-kota besar termasuk juga pedalaman.
Demikian juga dalam variasi suku dan ras. Suku Jawa menjadi etnis mayoritas dengan bahasa Jawa. Suku Sunda dengan bahasa Sunda, suku Madura dengan bahasa Madura, suku Melayu dengan bahasa Melayu, termasuk suku kelompok kecil semacam suku Bali, Batak, Minang, Aceh, Dayak, Banjar, Papua, Bugis, Makasar, Badui, dan Toraja.
  Dari realita di atas, terbukti bahwa keberbedaan (diversity) dalam kehidupan merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa ditolak. Pada saat ini, paling tidak telah terjadi pertikaian di hampir seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersimbolkan aneka perbedaan. Ironisnya, konflik yang disulut adanya pertentangan agama atau ideologi pemikiran keberagamaan yang masih mendominasi.
Mengembangkan paradigma multikulturalisme melalui dunia pendidikan di era sekarang ini, adalah mutlak segera “dilakukan” terutama atas pendidikan agama di Indonesia demi kedamaian sejati. Pendidikan agama perlu segera menampilkan ajaran agama yang toleran melalui kurikulum pendidikan dengan tujuan menitikberatkan pada pemahaman dan upaya untuk bisa hidup dalam konteks perbedaan agama dan budaya, baik secara individual maupun secara kolompok dan tidak terjebak pada primordialisme dan eklusifisme kelompok agama dan budaya yang sempit.
Pendidikan memiliki peran strategis untuk membangun serta mengembalikan cara berpikir dan sikap peserta didik ke dalam tataran yang mengerti kemajemukan bermasyarakat. Pendidikan yang diselenggarakan haruslah pendidikan yang empati dan simpati terhadap problem kemanusiaan seperti penindasan, kemiskinan, pembantaian, dan sebagainya. Pendidikan agama yang berlangsung bukan sekadar penanaman wacana melalui proses indoktrinasi otak, tetapi melatih terampil beragama dan kesiapan menghadapi masalah konkret dalam masyarakat berupa perbedaan.
Pendidikan agama an sich semacam fiqih, tafsir tidak harus bersifat tunggal, namun menggunakan pendekatan lainnya. Ini menjadi sangat penting, karena anak akan senantiasa memiliki pilihan sikap yang jelas atas dua pilihan yang berbeda, dan perbedaan yang ada tentu membutuhkan alasan perbedaannya. Misalnya tentang alas an cara wudhu yang berbeda, atau bisa juga tentang cara membaca satu kata tafsir namun memiliki makna yang banyak.
Untuk mengembangkan kecerdasan sosial berupa proses interaksi sosial, siswa juga harus diberikan materi pengenalan lintas agama atau ideologi tertentu. Hal ini dapat dilakukan dengan program dialog antar agama yang perlu diselenggarakan oleh lembaga pendidikan Islam. Sebagai contoh, tentang “puasa” yang ternyata juga dilakukan oleh pemeluk agama lain, seperti para bikhsu atau agamawan lain. Program ini menjadi sangat strategis, khususnya untuk memberikan pemahaman kepada siswa bahwa puasa ternyata juga menjadi ritual agama lain. Dengan sendirinya akan berkembang pemahaman bahwa “di luar Islampun ada keselamatan”.
Dalam upaya memahami realitas perbedaan dalam beragama, lembaga-lembaga pendidikan Islam bisa juga menanamkan kepedulian komunitas agama lain dengan saling bekerjasama membersihkan tempat keagamaan, wihara ataupun tempat suci lainnya. Kesadaran multikulturalisme bukan sekadar memahami keberbedaan, namun juga harus ditunjukkan dengan sikap konkrit bahwa sekalipun berbeda keyakinan, namun sama-sama sebagai manusia yang mesti diperlakukan secara manusiawi. Hal ini seperti melatih peserta didik untuk bisa berbagi dengan orang terdekatnya.
Tentunya, kesemua program di atas dapat berjalan dengan baik manakala didukung adanya materi aqidah akhlak yang telah diintegrasikan dengan dunia sosial nyata. Selama ini, materi pendidikan agama dipandang hanya memproduk manusia yang memandang golongan lain (tidak seakidah) sebagai  musuh. Maka di sinilah perlunya menampilkan pendidikan agama yang fokusnya adalah bukan semata kemampuan ritual dan keyakinan tauhid, melainkan juga akhlak sosial dan kemanusiaan.

___________________________________

Muh. Khamdan
Peneliti Paradigma Institute dan Peserta Kajian Agama dan Perdamaian Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


Sumber: http://www.dikti.go.id/

Materi Kewarganegaraan


1.    Latar Belakang PKN ; sifat heterogen bansga, maka diperlukan PKn untuk mengoptimalkan peran warga Negara dalam mencapai tujuan bersama.
2. Tujuan Nasional ;
a.    Melindungi segenap bangsa
b.    Untuk kesejahteraan rakyat
c.    Mencerdaskan kehidupan bangsa
d.    Pertahanan nasional
3.    Bangsa ; sekumpulan manusia yang terikat kesamaan bahasa dan wilayah dengan perasaan senasib dan sepenanggungan
4.    Negara ; suatu organisasi yang memiliki wilayah, rakyat, dan pemerintah yang berdaulat.
5.    Nasionalisme ; Paham filsafat yang berpusat pada bangsa
6.    Nasional yang bersifat positif ; paham berpusat pada bangsa untuk kemerdekaan dan harga diri, tetapi mengormati bangsa lain.
7.    nasionalisme yang bersifat negative ; paham yang berpusat pada bansga, tanpa menghormati bangsa lain-lain.
8.    Dinamika Nasionalisme :
a.    Masa Penjajahan ; nasionalisme menjelma sebagai ideology untuk mengusir penjajah
b.    Masa Kemerdekaan ;
Nasionalisme menjelma sebagai ideology untuk menghadapi system ekonomi colonial
c.    masa pasca kemerdekaan (orde baru dan reformasi) ; nasionalisme menjelma sebagai ideology untuk menghadapi system ekonomi kapitalisme
9.    a. Demokrasi langsung ; semua rakyat bisa mengemukakan pendapatnya secara langsung
b. Demokrasi tidak langsung ; rakyat memilih perwakilannya di DPR atau dewan perwakilan.
10. Dinamika Demokrasi di Indonesia ;
a. masa orde lama ; demokrasi yang berdasarkan konstitusional, maka disebut dengan demokrasi parlementer.
b. Masa orde lama (soekarno) ; demokrasi terpimpin, karena yang berkuasa pemimpin
c. masa orde baru ; Demokrasi pancasila, karena harus berdasarkan nilai-nilai pancasila.
d. masa reformasi ; Demokrasi belajar, karena banyak partai dan demokrasi berpendapat atau demokrasi dengan sistem serangan fajar.
11. HAM ; hak yang dimiliki manusia sejak kandungan tanpa membedakan bangsa, ras, agama, suku dan jenis kelamin, serta bersifat universal.
12. Makna HAM ; a. Realisasinya memenuhi/ mengakui hakekat manusia, b. Bisa terpenuhi bila hidup di dalam masyarakat.
13. Sejarah HAM ; a. Inggris thn. 1215 ”piagam magna charta”, 1689 membahas undang-undang HAK (bill of right di inggris), b. Perancis thn.1789 ”revolusi perancis” membahasa hak-hak manusia, hak-hak warga negara, c. Amerika Serikat thn. 4 juli 1776 ”pernyataan kemerdekaan”, d. Rusia thn.1937, pernyataan hak untuk beristirahat, Hak untuk pekerjaan yang layak. E. Indonesia thn.1945 ”UUD 1945”, membahasa pembukaan, pasalpasal UUD 1945
f. Piagam PBB tahun 1948
13. Wawasan Nasional ; cara pandang suatu bangsa tentang diri dari lingkungan yang berdasarkan filsafat, sejarah, kondisi, geografis, dan proses geografis.
14. Wanus menjiwai tujuan nasional.
15. Hak Warga Negara :
a. pasal 27/1 ; segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
b. pasal 27/2 ; hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
c.  pasal 27/3 ; hak dalam pembelaan negara
d. pasal 28 ; hak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran
e. pasal 29 ; hak untuk memeluk agama sesuai kepercayaan masing-masing
f. pasal 31 ; hak untuk memperoleh pengajaran
- Kewajiban Warga Negara :
a. pasal 27/1 ; Warga negara wajib menjunjung tinggi hukum
b. pasal 30 ; WN wajib ikut serta dalam pembelaan negara
c. WN wajib dan turut membayar pajak
d. WN wajib menghormati HAM
e. WN wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan UU
16. kewajiban Negara :
a. kewajiban negara sesuai tujuan nasional
10.   Latar Belakang PKN ; sifat heterogen bansga, maka diperlukan PKn untuk mengoptimalkan peran warga Negara dalam mencapai tujuan bersama.
11. Tujuan Nasional ;
e.    Melindungi segenap bangsa
f.    Untuk kesejahteraan rakyat
g.    Mencerdaskan kehidupan bangsa
h.    Pertahanan nasional
12.   Bangsa ; sekumpulan manusia yang terikat kesamaan bahasa dan wilayah dengan perasaan senasib dan sepenanggungan
13.   Negara ; suatu organisasi yang memiliki wilayah, rakyat, dan pemerintah yang berdaulat.
14.   Nasionalisme ; Paham filsafat yang berpusat pada bangsa
15.   Nasional yang bersifat positif ; paham berpusat pada bangsa untuk kemerdekaan dan harga diri, tetapi mengormati bangsa lain.
16.   nasionalisme yang bersifat negative ; paham yang berpusat pada bansga, tanpa menghormati bangsa lain-lain.
17.   Dinamika Nasionalisme :
d.    Masa Penjajahan ; nasionalisme menjelma sebagai ideology untuk mengusir penjajah
e.    Masa Kemerdekaan ;
Nasionalisme menjelma sebagai ideology untuk menghadapi system ekonomi colonial
f.    masa pasca kemerdekaan (orde baru dan reformasi) ; nasionalisme menjelma sebagai ideology untuk menghadapi system ekonomi kapitalisme
18.   a. Demokrasi langsung ; semua rakyat bisa mengemukakan pendapatnya secara langsung
b. Demokrasi tidak langsung ; rakyat memilih perwakilannya di DPR atau dewan perwakilan.
10. Dinamika Demokrasi di Indonesia ;
a. masa orde lama ; demokrasi yang berdasarkan konstitusional, maka disebut dengan demokrasi parlementer.
b. Masa orde lama (soekarno) ; demokrasi terpimpin, karena yang berkuasa pemimpin
c. masa orde baru ; Demokrasi pancasila, karena harus berdasarkan nilai-nilai pancasila.
d. masa reformasi ; Demokrasi belajar, karena banyak partai dan demokrasi berpendapat atau demokrasi dengan sistem serangan fajar.
11. HAM ; hak yang dimiliki manusia sejak kandungan tanpa membedakan bangsa, ras, agama, suku dan jenis kelamin, serta bersifat universal.
12. Makna HAM ; a. Realisasinya memenuhi/ mengakui hakekat manusia, b. Bisa terpenuhi bila hidup di dalam masyarakat.
13. Sejarah HAM ; a. Inggris thn. 1215 ”piagam magna charta”, 1689 membahas undang-undang HAK (bill of right di inggris), b. Perancis thn.1789 ”revolusi perancis” membahasa hak-hak manusia, hak-hak warga negara, c. Amerika Serikat thn. 4 juli 1776 ”pernyataan kemerdekaan”, d. Rusia thn.1937, pernyataan hak untuk beristirahat, Hak untuk pekerjaan yang layak. E. Indonesia thn.1945 ”UUD 1945”, membahasa pembukaan, pasalpasal UUD 1945
f. Piagam PBB tahun 1948
13. Wawasan Nasional ; cara pandang suatu bangsa tentang diri dari lingkungan yang berdasarkan filsafat, sejarah, kondisi, geografis, dan proses geografis.
14. Wanus menjiwai tujuan nasional.
15. Hak Warga Negara :
a. pasal 27/1 ; segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
b. pasal 27/2 ; hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
c.  pasal 27/3 ; hak dalam pembelaan negara
d. pasal 28 ; hak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran
e. pasal 29 ; hak untuk memeluk agama sesuai kepercayaan masing-masing
f. pasal 31 ; hak untuk memperoleh pengajaran
- Kewajiban Warga Negara :
a. pasal 27/1 ; Warga negara wajib menjunjung tinggi hukum
b. pasal 30 ; WN wajib ikut serta dalam pembelaan negara
c. WN wajib dan turut membayar pajak
d. WN wajib menghormati HAM
e. WN wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan UU
16. kewajiban Negara :
a. kewajiban negara sesuai tujuan nasional
19.   Latar Belakang PKN ; sifat heterogen bansga, maka diperlukan PKn untuk mengoptimalkan peran warga Negara dalam mencapai tujuan bersama.
20. Tujuan Nasional ;
i.     Melindungi segenap bangsa
j.     Untuk kesejahteraan rakyat
k.    Mencerdaskan kehidupan bangsa
l.     Pertahanan nasional
21.   Bangsa ; sekumpulan manusia yang terikat kesamaan bahasa dan wilayah dengan perasaan senasib dan sepenanggungan
22.  Negara ; suatu organisasi yang memiliki wilayah, rakyat, dan pemerintah yang berdaulat.
23.  Nasionalisme ; Paham filsafat yang berpusat pada bangsa
24.  Nasional yang bersifat positif ; paham berpusat pada bangsa untuk kemerdekaan dan harga diri, tetapi mengormati bangsa lain.
25.  nasionalisme yang bersifat negative ; paham yang berpusat pada bansga, tanpa menghormati bangsa lain-lain.
26.  Dinamika Nasionalisme :
g.    Masa Penjajahan ; nasionalisme menjelma sebagai ideology untuk mengusir penjajah
h.    Masa Kemerdekaan ;
Nasionalisme menjelma sebagai ideology untuk menghadapi system ekonomi colonial
i.     masa pasca kemerdekaan (orde baru dan reformasi) ; nasionalisme menjelma sebagai ideology untuk menghadapi system ekonomi kapitalisme
27.  a. Demokrasi langsung ; semua rakyat bisa mengemukakan pendapatnya secara langsung
b. Demokrasi tidak langsung ; rakyat memilih perwakilannya di DPR atau dewan perwakilan.
10. Dinamika Demokrasi di Indonesia ;
a. masa orde lama ; demokrasi yang berdasarkan konstitusional, maka disebut dengan demokrasi parlementer.
b. Masa orde lama (soekarno) ; demokrasi terpimpin, karena yang berkuasa pemimpin
c. masa orde baru ; Demokrasi pancasila, karena harus berdasarkan nilai-nilai pancasila.
d. masa reformasi ; Demokrasi belajar, karena banyak partai dan demokrasi berpendapat atau demokrasi dengan sistem serangan fajar.
11. HAM ; hak yang dimiliki manusia sejak kandungan tanpa membedakan bangsa, ras, agama, suku dan jenis kelamin, serta bersifat universal.
12. Makna HAM ; a. Realisasinya memenuhi/ mengakui hakekat manusia, b. Bisa terpenuhi bila hidup di dalam masyarakat.
13. Sejarah HAM ; a. Inggris thn. 1215 ”piagam magna charta”, 1689 membahas undang-undang HAK (bill of right di inggris), b. Perancis thn.1789 ”revolusi perancis” membahasa hak-hak manusia, hak-hak warga negara, c. Amerika Serikat thn. 4 juli 1776 ”pernyataan kemerdekaan”, d. Rusia thn.1937, pernyataan hak untuk beristirahat, Hak untuk pekerjaan yang layak. E. Indonesia thn.1945 ”UUD 1945”, membahasa pembukaan, pasalpasal UUD 1945
f. Piagam PBB tahun 1948
13. Wawasan Nasional ; cara pandang suatu bangsa tentang diri dari lingkungan yang berdasarkan filsafat, sejarah, kondisi, geografis, dan proses geografis.
14. Wanus menjiwai tujuan nasional.
15. Hak Warga Negara :
a. pasal 27/1 ; segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
b. pasal 27/2 ; hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
c.  pasal 27/3 ; hak dalam pembelaan negara
d. pasal 28 ; hak berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran
e. pasal 29 ; hak untuk memeluk agama sesuai kepercayaan masing-masing
f. pasal 31 ; hak untuk memperoleh pengajaran
- Kewajiban Warga Negara :
a. pasal 27/1 ; Warga negara wajib menjunjung tinggi hukum
b. pasal 30 ; WN wajib ikut serta dalam pembelaan negara
c. WN wajib dan turut membayar pajak
d. WN wajib menghormati HAM
e. WN wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan UU
16. kewajiban Negara :
a. kewajiban negara sesuai tujuan nasional



Sumber: http://blog.umy.ac.id/rodes2008/ringkasan-materi-penting-pendidikan-kewarganegaraan/

Pendidikan Ilmu Sosial


Filsafat sebagai induk dari segala ilmu pengetahuan (Mater, Scientiarum)
Tokoh: Plato, Aristoteles, John Locke, Thomas Hobes, JJ Rousseau
Filsafat ada tiga:
  • Filsafat Alam
    • Astronomi, Fisika (kosmologi)
    • Kimia, Biologi, Geografi (natural sains)
  • Filsafat Kejiwaan -> Psikologi
  • Filsafat Sosial -> Ilmu-ilmu social
Pendidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas, Pasal 1 ayat 1:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan diri, keprinadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Lima Hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan:
  1. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik
  2. Pendidikan sebagai kegiatan bimbingan
  3. Pendidikan sebagai kegiatan pengajaran
  4. Pendidikan sebagai kegiatan pelatihan
  5. Peran peserta didik
Klein (1989)
Kurikulum adalah suatu substansi sekolah.
Kurikulum sebagai rencana nasional dalam upaya mencapai tujuan pendidikan nasional.
Pendidikan diatas menganut paham Rekonstrukturisme.
Paham reonsrukturisme menghendaki agar pendidikan diarahkan kepada kemampuan atas partisipasi peserta didik di masa yang akan datang.
Ilmu-Ilmu Sosial
Calhoun (1971)
Ilmu-ilmu social sebagai studi tentang tingkah laku kelompok umat manusia (The Study of The Group Behaviour of Human Beings)
Pendidikan ilmu-ilmu sosial:
Pendidikan mengenai disiplin ilmu-ilmu sosial
  • SMU/SMK : Tingkat Dasar, masih bersifat permulaan
  • Mahasiswa : Kedalaman materi untuk bidang studi
Perbedaan ini akan menyebabkan perbedaan kurikulum.
Dua hal yang diperhatikan dari mahasiswa dalam setiap pengajaran disiplin ilmu:
  1. Penguasaan aspek subtansif keilmuan
Penguasaan prosedur penelitian yang dapat digunakan untuk pengembangan teori, generalisasi, dan konsep-konseo fakta.
  1. Penguasaan prosedur hedodolis pencarian kebenaran dalam keilmuan itu
Yaitu penguasaan pandangan teori, generalisasi, konsep-konsep fakta.
Bentuk-Bentuk Pendidikan Ilmu Sosial
Ilmu-ilmu sosial:
  • Disiplin Ilmu Sosial
Salah satu sumber materi pendidikan, berdiri sendiri.
Misal: Ekonomi, Sejarah, Antropologi, Sosiologi, dll.
  • Disiplin Ilmu Sosial
Sumber materi pendidikan
Dibagi menjadi tiga macam pendekatan:
  • Pendekatan Terpadu (Mregeted)
  • Pendekatan Berhubungan
  • Pendekatan Terpisah
  1. Pendekatan Terpisah
Yaitu pendekatan dimana sikap disiplin dalam ilmu social diajarkan secara terpisah. Tujuan dan materi pembelajaran dikembangkan dari disiplin ilmu yang bersangkutan.
  1. Pendekatan Gabungan
Pendekatan pendidikan ilmu social yang menggabungkan (korelasi) beberapa disiplim ilmu sosial dalam melakukan kajian terhadap suatu pokok bahasan.
  1. Pendekatan Multidisiplin
Yaitu pendekatan ilmu social yang menggunakan lebih dari satu disiplin ilmu, tetapi dipertahankan dua kedudukan satu disiplin ilmu terhadap masalah sama denagn kedudukan disiplin ilmu lain.
  1. Pendekatan Terpadu
Yaitu pendekatan yang memadukan berbagai disiplin ilmu social sedemikian rupa sehingga batas antara satu disiplin ilmu dengan lainnya sudah tak tampak.
Syntetik Social Scienes
Upaya untuk memadukan berbagai disiplin limu social menjadi suatu disiplin baru.
Pelopornya Bruner dkk dari Universitas Harvard.
Landasan Pendidikan Ilmu Sosial
Guru yang baik adalah guru yang mempunyai wawasan dan kesadaran akan manfaat ilmu yang diajarkan.
Manfaat:
ü  Pengembangan karier
ü  Mencari dan menambah pengetahuan
ü  Penumbuhan keterampilan professional baru
ü  Perbaikan profesi belajar siswa yang dibimbingnya
Landasan Filosofis Pendidikan
Dasar pandangan seseorang mengenai tujuan yang seharusnya dicapai, materi yang apa yang seharusnya diajarkan, proses belajar apa yang harus dikembangkan dalam upaya mencapai tujuan pendidikan.
Ada tiga macam aliran dalam falsafah kurikulum:
  1. Aliran Esensial
Berpandangan agar sekolah menjadi pusat keunggulan pendidikan harus disajikan dalam bentuk keilmuan dan kurikulumnya adalah kurikulum disiplin ilmu.
Tanner dan Tanner (1980)
Intelektualisme adalah tujuan yang paling mendasar dari setiap upaya pandidikan.
  1. Aliran Perenialisme
Berpandangan bahwa pendidikan harus diarahkan pada pengembangan intelektual siswa.
Tanner dan Tanner (1980)
Beranggapan bahwa pendidikan harus diarahkan secara eksklusif pada pengembangan intelektual tersebut, harus didasarkan pada studi yang dinamakan Liberal Arts dan buku besar.
  1. Aliran Rekonsrukturionis
Berpandangan bahwa pendidikan sebagai wahana untuk mengembangkan kesejateraan social (Tnner dan Tanner).
ü  Intelektual bukan tujuan yang dikehendaki
ü  Menyelesaikan problema masyarakat untuk meningkatkan kesejateraan masyarakat jauh lebih penting dari pengembangan intelektualisme keilmuan
Landasan Politis
Untuk Indonesia dihubungkan dengan keputusan formal dalam pendidikan, seperti Pancasila, UUD 45, UU Pendidikan, Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri.
UU Pendidikan No. 20 Tahun 2003:
“Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia  seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”
Tuntutan Masyarakat
Menurut Tyler, (1946), Taba (1963), Tanner dan Tanner (1984):
Tuntutan masyarakat adalah salah satu dasar dalam pengembangan kurikulum.
Pengembangan masyarakat yang pesat selalu membawa dampak bagi kehidupan social, ekonomi, dan budaya. Munculnya nilai dan norma baru yang mungkin dianggap berbeda, bahkan bertentangan dengan apa yang diyakini anggota mayarakat itu sebagai individu ataupun kelompok.
Tujuan Pendidikan Ilmu Sosial
Yaitu mengembangkan kemampuan siswa dalam penguasaan disiplin ilmu social untuk mencapai tujuan ilmu social yang lebih tinggi.
Tujuan pencapaian pendidikan ilmu sosial dikelompokkan dalam 3 kategori:
  1. Pengembangan kemampuan intelektual siswa
  2. Pengembangan kemampuan serta rasa tanggung jawab sebagai anggota masyarakat dan bangsa
  3. Pengembangan diri siswa pribadi
Jenis tujuan ada dua:
  1. Tujuan Obyektif, yaitu tujuan yang dicapai dalam 1-2 kali pertemuan kelas atau dapat dicapai dalam 1 satuan pengajaran (satpel).
  2. Development Obyektif, yaitu pencapaiannya melalui penguasaan materi yang cukup lama oleh siswa.
Pengetahuan dan Pemahaman
Merupakan tujuan yang paling dasar. Pengetahuan berhubungan dengan kemampuan/daya ingat siswa.
Menurut Triggs (1991)
Seseorang yang belajar IPS harus memiliki pengetahuan dan pemahaman mengenai:
  1. Ruang lingkup dan pokok kajian
  2. Struktur keilmuan dari setiap disiplin
  3. Fakta, konsep, peristiwa yang dianggap penting
  4. Pokok pikiran keilmuan
  5. Teori yang dianggap penting dan relevan
  6. Tokoh yang melahirkan teori
  7. Isu penting yang ada di masyarakat
Pengembangan:
Pengembangan afektif adalah tujuan yang berkenaan dengan aspek sikap, nilai, dan moral.
  • Sikap
Kecenderungan psikologis seseorang terhadap benda, sifat, keadaan, pekerjaan, dan pendapat. Sikap tercermin dalam pernyataan senang, setuju, sayang.
  • Nilai
Sesuatu yang menjadi criteria apakah suatu tindakan pendapat atau hasil kerja itu positif atau negatif. Dasar nilai adalah agama, adat setempat, perjanjian-perjanjian.
  • Moral
Kriteria yang menjadi dasar untuk menentukan apakah tindakan, pendapat atau hasil kerja baik/tak baik, boleh/tak boleh dilakukan, apakah nanti merusak akhlak suatu bangsa dan moral adalah sesuatu yang diikuti dengan sanksi moral.
Pengembangan Konatif
Adalah kualitas yang menimbulkan bahwa seseorang tidak hanya memiliki pengetahuan dan pemahaman, kemampuan kognitif yang tinggi, sikap nilai & moral, akan tetapi dia juga memiliki keinginan untuk melaksanakan dan membuktikan dalam kehidupan sehari-hari.
Konatif adalah pelaksanaan yang riil dari apa yang sedang menjadi miliknya.
Tujuan konatif:
  1. Penumbuhan sikap dan kehidupan yang religious
  2. Melaksanakan tugas social
  3. Melaksanakan tanggung jawab pribadi
  4. Bekerja keras
  5. Jujur
  6. Kemauan serta kemampuan untuk beradaptasi
Pengembangan Materi Kurikulum PIS
  1. Materi PIS
Materi pendidikan adalah apa yang dipelajari siswa untuk mencapai tujuan pendidikan yakni tujuan kurikulum ilmu social.
  1. Teori dan Generalisasi
Teori adalah komposisi yang dihasilkan dari sejumlah pengembangan preposisi/generalisasi yang dianggap memiliki hubungan secara sistematis (Goetz dan Le Comte).
Teori ini dibagi menjadi 4:
  1. Grand teori
  2. Teori tipe
  3. Formal and middle range teori
  4. Substantive teori
  1. Konsep
Adalah abstraksi kesamaan keterhubungan dari sekelompok benda dan sifat (Bruner:1962)
Kesamaan, adanya unsur yang sama, konkret atau abstrak.
Keterhubungan, adanya hubungan antar berbagai benda atau sifat, konkret maupun abstak, dan terjadi atas dasar pemikiran abstrak.
  1. Fakta
Menurut Schunke, fakta adalah building blok yang digunakan untuk mengembangkan konsep dan generalisasi, tanpa fakta tidak akan ada konsep dan tanpa konsep tidak akan ada generalisasi.
Fakta menjadi penopang yang menguji hipotesis, mengembangkan generalisasi dan teori. Fakta juga diperlukan untuk membentuk konsep, konsep dirangkum dalam hipotesa kemudian dikembangkan menjadi generalisasi.
  1. Pengorganisasian Materi Kurikulum
Pengorganisasin materi kurikulum dapat dibedakan menjadi dua:
  1. Pengorganisasian Terpisah
Adalah setiap disiplin ilmu social yang diajarkan secara terpisah berdasarkan cirri dan karakterisrik masing-masing.
Keuntungan:
ü  Siswa belajar seutuhnya terpusat hanya pada satu disiplin ilmu saja.
Kelemahan:
ü  Menjadikan pendidikan ilmu social sebagai suatu pendidikan yang hanya mementingkan kepentingan disiplim ilmu.
  1. Pengorganisasian Korelatif
Metode pendidikannya adalah mencoba mencari pembahasan, keterkaitan, arti pokok bahasannya dengan pokok bahasan lainnya.
  1. Pengajaran Pengetahuan dan Pemahaman Dalam PIS
Pengajaran Pengetahuan dan Mnemonic
Pengetahuan adalah sesuatu yang dilakukan dengan cara mengingat atau mengambil kembali apa yang sudah ada dalam pikiran seseorang tentang suatu pokok pikiran, materi atau fenomena.
Pengetahuan terdiri atas pengetahuan istilah, fakta, tentang cara berhubungan.
Pengajaran Berfikir Dalam PIS
Kemampuan berfikir digunakan untuk memecahkan masalah melalui pemanfaatan pengetahuan pemahaman, dan keterampilan.
Kegiatan berfikir meliputi proses:
  • menentukan hukum sebab-akibat
  • pemberian makna terhadap sesuatu yang baru
  • mendeteksi keteraturan diantara fenomena yang ada
  • penentuan kualifikasi
  • menentukan ciri khas fenomena
Pengajaran pendidikan ilmu sosial dapat dilakukan melalui studi kasus, isu-isu kontroversial, dan konsep.
Kemampuan Proses dalam PIS
Kemampuan proses adalah kemampuan seseorang dalam mendapat informasi, mengolah informasi, menggunakan informasi, serta mengkomunikasikan hasilnya.
Kemampuan proses yang bisa dikembangkan meliputi:
  • mengumpulkan informasi
  • mengolah informasi
  • memanfaatkan
  • mengkomunikasikan hasil
Bentuk pengajaran kemampuan proses
  • Pengajaran ilmu sosial dengan problem solving (pemecahan masalah)
Bermanfaat dalam kemampuan mengambil keputusan berdasarkan alternatif yang ada.
Langkahnya:
ü  Mengidentifikasi masalah
ü  Pengembangan alternatif
ü  Pengumpulan data untuk menguji alternatif
ü  Pengujian alternatif
ü  Pengambilan keputusan
  • Pengajaran ilmu sosial dengan inkuiri
Berdasarkan masalah yang ada dalam disiplin ilmu, bukan pada masalah sehari-hari.
Langkahnya:
ü  Perumusan masalah
ü  Pengembangan hipotesis
ü  Pengumpulan data
ü  Pengolahan data
ü  Pengujian hipotesis
ü  Penarikan kesimpulan
Pengajaran Nilai dalam PIS
Model pengajarannya:
v  Role Playing (Bermain Peran)
Yaitu suatu proses belajar dimana siswa melakukan sesuatu yang dilakukan orang lain. Bermain peran merupakan model pengajaran untuk mengembangkan sikap, nilai, moral pada diri siswa melalui peran yang dimainkannya.
v  Drama social (Sosio Drama)
Ruang lingkup sosio drama hanya membatasi diri pada permasalahan yang berkenaan dengan aspek social dalam masyarakat. Sosio drama merupakan model pengajaran untuk mengembangkan sikap, nilai, dan moral melaui peran social yang dimainkannya dalam suatu peristiwa social.
Perencanaan Pengajaran PIS
Dalam pengajaran PIS ada faktor-faktor yang yang terlibat, salah satunya adalah guru. Guru sangat berperan dalam menghasilkan siswa. Selaim itu ada faktor lain yang juga berpengaruh, yaitu faktor nonteknis.
Faktor nonteknis meliputi:
  • Kemampuan siswa
  • Keyakinan diri guru sebagai pendidik
  • Kreatifitas guru
  • Kecintaan guru terhadap disiplin ilmu yang diajarkannya
Aspek nonteknis guru adalah aspek yang berkaitan dengan unsur-unsur afeksi keproifesionalan seorang guru. Aspek yang paling menonjol adalah motivasi, rasa tanggung jawab, kesadaran profesi, serta keinginan untuk melaksanakan profesi sebaik-baiknya.
Evaluasi PIS
Tujuan dan fungsi evaluasi:
Untuk menentukan tingkat keberhasilan yang telah dicapai dalam suatu kegiatan pendidikan (fungsi sumatif).
Untuk mengetahui keunggulan serta kelemahan siswa atau kelemahan suatu proses  (fungsi formatif).
Alat Evaluasi:
Tes
Laporan tugas siswa
Catatan/observasi guru/catatan siswa
Wawancara




Sumber: http://exiaprasetya.wordpress.com